Karna Aku Tetap Gadis Kecil Papa.

Pukul satu pagi.
Tanganku masih berusaha merangkai kata yang jauh dari kata sempurna.
Teruntuk Papa, pria pertama yang membuat aku jatuh cinta.

Pict 01. Childhood Memory


     Entah aku harus bagaimana aku mulai mengungkapkannya, Pa. Tapi sungguh jelas malam ini aku terjebak dalam sebuah renungan untuk diriku sendiri. Saat ini, aku lapangkan dadaku untuk menyadari betapa terlambatnya aku. Tapi Papa, aku tahu  betapa Papa memiliki pengampunan untukku. Untuk gadis kecil yang kini mungkin terasa jauh dari dekapan. Dan... untuk gadis kecil yang sekarang sibuk tumbuh bersama dunianya.

     Papa, entahlah. Semenjak aku belajar untuk dewasa justru jarak antara kita seakan tak lagi sama. Seperti ada batas yang kini terbentuk secara tak sengaja. Dulu saat gadismu ini masih berumur lima tahun, kita selalu bercanda di ruang tengah saat malam tiba. Papa selalu memeluk dan bilang untuk lekas tidur karena besok sekolah. Papa, sosok yang memanjakanku. Sosok yang berupaya memberikan apapun yang gadis kecilnya mau. Tapi sayang, kadang gadis kecilnya masa bodoh dan tak pernah mau tahu. Papa, kini semua sungguh tak pernah sama. Aku rindu saat kita duduk berdua. Saat Papa dan aku punya sedikit waktu untuk saling bercerita. Aku rindu saat kita sama-sama memiliki waktu.

      Lalu papa, ingatkah bahwa Papa adalah orang yang pertama mengajariku mengayuh sepeda? Dahulu semua anak sebayaku telah mahir naik sepeda. Kala sore tiba, teman-teman begitu asyik dengan sepeda mereka masing-masing. Aku hanya duduk memandangi dan kadang berlari mengiringi mereka. Ya, sebenarnya aku ingin seperti mereka, namun apa daya. Papa, aku tahu Papa tak punya hati untuk melihatku seperti itu. Biasanya setelah pulang dari kantor, Papa lantas beristirahat. Aku tahu Papa lelah. Namun sore itu, beliau terlihat duduk santai di halaman rumah memandangiku. Papa mengampiri bertanya apakah aku ingin naik sepeda seperti yang lain. Aku menggeleng dan mengungkapkan bahwa aku takut. Papa meminjam sepeda seorang anak yang kebetulan bermain dihalaman rumahku. Aku tetap saja mengelak dan berdalih bahwa aku takut. Papa bilang, aku tak perlu risau. Aku tidak akan jatuh karena Papa selalu ada dibelakangku. Iya, selalu dibelakangku untuk melindungi. Mendengar itu, akupun berani mencoba. Kaki kecilku perlahan mengayuh sepeda. Seakan tak ada alasan bagiku untuk takut lagi. Papa mengawalku dengan memegang kemudi sepeda. Papa, seandainya papa tahu betapa bahagianya putri kecilmu saat itu. Sesederhana itu, tapi rasanya luar biasa bagi malaikat kecilmu ini.


    Bagai tertimpa durian runtuh. Selang beberapa hari Papa memberiku sebuah sepeda baru. Iya, sepeda yang sama dengan sepeda milik teman-temanku. Beliau memberi tambahan roda agar aku tidak terjatuh. Papa tahu roda itu akan menjagaku karena papa tidak bisa mendampingiku setiap saat. Perlahan aku mampu menaiki sepeda roda dua. Meski papa tak berada di belakangku lagi, tapi aku selalu merasa terlindungi olehnya. Papa, lagi-lagi beliau memberi arti bagi hidupku. Mengajarkanku untuk menyisihkan rasa takut dan senantiasa berusaha. Hingga akhirnya aku bisa mengarungi segala hal dengan lebih mandiri. Ya, seperti saat ini.


       Satu hal yang tidak dapat aku lupakan dari Papa. Beliau adalah orang yang selalu mengajarkanku hal baru. Anganku terbang dan hinggap pada memori belasan tahun lalu, saat aku masih duduk dibangku taman kanak-kanak. Beliau pulang dari kantor dan membawakanku sebuah bingkisan. Aku tak tahu apa isinya. Beliau bilang itu kejutan dan pasti aku suka. Ya, ternyata didalamnya terdapat seperangkat alat lukis! Aku yang pada saat itu hanya akrab dengan pastel, krayon, dan pensil warna merasa tertarik. Dengan sabar Papa mengajariku menuang cat air ke pallet dan mengajariku melukis. Papa selalu mengambar ayam ketika aku minta untuk mengajariku. Gambarnya lebih mirip itik daripada ayam tapi aku sungguh merasa sangat bahagia. Namun sayang putri kecilnya ini lekas bosan. Aku nampaknya tidak terlalu lihai melukis. Beberapa waktu kemudian alat-alat lukis itu tak terjamah lagi bahkan aku gunakan untuk bermain. Bukan melukis. Tapi Papa tak sedikitpun marah. Iya, papa memang lelaki yang paling sabar menghadapi tingkahku.
Pict 02. I just can't stop crying when look at this one


         Aku dan papa dulu sangat dekat. Amat dekat. Seperti garam dan  air di lautan, seolah menyatu. Tapi waktu membawa kita ke kutub yang berbeda. Aku beranjak belia. Dan saat itu juga aku merasa ada perubahan yang berarti. Di mataku, papa berubah menjadi sosok diktator dengan segudang aturan yang mewajibkanku untuk menyanggupinya. Kadang aku benci Papa. Papa dengan segenap aturan kunonya tak tak bisa aku mengerti. Ini dan itu semua serba ada aturannya.

"Anak perempuan tak boleh keluar malam, jam 9 sudah harus dirumah dan kemanapun harus pamit dengan orang rumah. Pergi kemana dan dengan siapanya harus jelas. Kalau pergi malam-malam harus Papa yang antar." - Pasal pertama di Rumahku.

     Tapi realitanya justru lebih ketat daripada itu. Izin untuk pergi pada siang haripun kadang tak aku kantongi. Bahkan ketika aku dapat izin, ponselku selalu berdering dengan isi pesan Papa yang selalu sama (lagi dimana- ayo segera pulang- Sudah ditunggu Papa). Aku selalu membawa perasaan was-was saat aku pergi keluar dengan teman-teman. Aku selalu merasa terburu. Bahkan untuk sekedar memohon izin pada Papapun aku harus merangkai kata nan indah agar diterima. Bahkan butuh waktu yang lama dan mengumpulkan keberanian sebelum mengatakannya. Bayangkan, bagaimana aku tidak jengah? Aku iri dengan teman-temanku yang selalu melenggang bebas untuk menonton pertandingan basket atau teater sekolah. Papa seolah tak mau mengerti!

"Boleh ikut kegiatan apapun di sekolah. Asalkan izin pada Papa. Dan hal yang paling penting tidak ada kata 'pacar' saat SMA." - Pasal kedua yang harus aku jalani.

      Ya, setidaknya aku gadis yang beruntung. Papa sosok yang senantiasa memberi dukungan untuk kegiatanku di sekolah. Papa memberikan putrinya kebebasan untuk memilih berbagai kegiatan di sekolah. Namun yang sedikit membuatku kesal adalah Papa sama sekali tak mengizinkanku untuk memiliki romansa di masa putih abu-abu. Aku sendiri tak menampik bahwa aku telah memiliki rasa kertarikan pada lawan jenis. Lalu harus bagaimanakah aku? Pernah suatu kali aku dan seorang teman laki-laki yang aku suka datang ke rumah. Papa, dengan muka masam menyapa dia dengan acuh. Papa tak biasanya begitu. Aku hanya kesal. Kesal dan tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin mengutarakan semuanya tapi hingga hari itu aku belum berani untuk bicara. Lidahku terasa kelu.

"Ponsel dimatikan menjelang pukul 10 malam. Papa selalu memintaku untuk tidak tidur larut malam. " -  Pasal ketiga yang remeh-temeh namun jika dilanggar dapat membuat Papa naik pitam.

    Papa tak begitu suka aku sibuk dengan gadgetku. Menyebalkan sekali bukan? Dahulu aku selalu berfikir betapa kunonya Papa. Jengkel. Papa seolah tak mengerti aku. Itu, lihat Pa. Teman-teman yang lainpun juga sibuk dengan gadget mereka. Rasanya kesal dihatiku sudah menggunung. Dadaku terasa sesak. Saat duduk di bangku SMA aku tak pernah mengerti apa yang ada dipikiran Papa. Yang aku tahu, beliau adalah ketua lembaga legislatif di rumah (Sang pembuat peraturan).


         Hari demi hari berlalu. Papa seolah menjadi garda depan di masa remajaku. Segala aturan yang dibuatnya selalu membuatku tak habis pikir. Pasal-pasal yang dibuatnya seakan mutlak untuk dijalankan. Bagaimanapun sederet aturan yang Papa buat sulit aku terima seutuhnya. Rasanya aku sudah jenuh. Namun, aku benar-benar takut saat Papa marah padaku. Saat Papa marah tak satu katapun ia lontarkan untukku. Papa hanya diam. Tak menyapaku atau menegurku. Jika sudah begitu, akupun hanya bisa diam. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.

Pict 03. Papa always be my guardian

     Ini bukan pengakuan yang picisan. Ya, kini aku menyadari bahwa peraturan yang Papa terapkan selama ini semata-mata untuk melindungiku. Papa, betapa engkau telah melakukan tanggungjawabmu sebagai seorang ayah dengan sangat baik. Betapa Papa telah berusaha dengan keras untuk menjagaku dan mengusahakan semua yang terbaik untukku. Papa, Tuhan begitu baik karena Tuhan telah menghadirkan Papa untukku.

        Waktu membawaku hingga detik ini. Detik dimana aku jauh dari papa. Di tanah rantau, aku hidup dengan aturanku dan bukan lagi dengan aturan Papa. Tapi yang aku rasakan justru berbeda. Aturan Papa seakan mendarah daging padaku. Pa, jika aku boleh mengatakan suatu aku hanya ingin mengungkapkan "Pa, Aku Rindu Papa." Aku rindu tidur di pelukan Papa. Aku  rindu becerita apapun dengan papa. Rindu ditegur Papa. Rindu diperhatikan papa. Rindu menghabiskan waktu bersama Papa. Aku rindu Papa dan semua yang kita lalui seperti saat aku masih kecil.

      Jadi, Papa apakah aku terlalu sibuk untuk tumbuh dewasa? Apakah aku yang tak pernah memiliki waktu lagi untuk kita berdua? Atau memang beginikah rasanya rindu seorang gadis kecil pada sosok Papanya? Apakah Papa tidak meyayangiku lagi?Tentu tidak.

       Hal yang membuat aku bertanya adalah kenapa kita tak lagi sama. Kita yang tak berkonflik apa-apa namun tetap terasa berbeda. Waktu membuat kita tak lagi sehangat dulu. Kita tak lagi dekat sedekat dulu. Yang tersisa hanyalah kerinduan sebagai seorang gadis kecil. Ah, mungkinkah aku yang belum bisa memahami semua ini?

"Seorang Papa akan membiarkan Gadisnya untuk berjalan sendiri. Tak lagi membantunya berjalan seperti saat gadisnya masih kecil. Seorang Papa akan membiarkan gadisnya mengejar mimpi. Tak lagi mengucap selamat tidur dan mengantarkan gadisnya untuk bermimpi. Namun suatu saat ketika putrinya jatuh dan belum bisa meraih mimpi, Papa akan selalu berdiri di belakang untuk membangkitkan semangat putrinya yang redup. Sejauh apapun putri kecilnya berjalan dan berbuat kesalahan, maka seorang Papa akan selalu menerima putrinya tanpa syarat."

        Papa, sampai kapanpun aku akan tetap jadi gadis kecil Papa. Iya, sampai suatu saat nanti Papa mempercayakan aku pada seorang pria untuk mendampingku. Dan sungguh akupun tak tahu apakah ada lelaki sehebat Papa yang bisa melindungiku hingga sampai saat ini. Pun jika nanti akan ada seorang lelaki yang  meminang dan melindungiku, percayalah aku hanya tetap akan jadi putri kecil Papa. Dengan itu aku merasa nyaman. Dengan itu aku menjadi diriku. Dengan itu aku merasa lengkap.


       Adakah kata yang lebih layak diucapkan selain kata maaf dan terima kasih? Papa, maaf gadis kecilmu kini tengah sibuk menyongsong masa depan dan hanya memiliki sedikit waktu untukmu. Papa terima kasih untuk semua yang tak bisa aku takar harganya. Biarkan aku yang akan membayar semuanya dengan tetap memberi kita waktu untuk saling bercerita dan tertawa bersama seperti dulu. Papa, engkau menjadi sosok yang banyak diam saat  aku mulai dewasa. Tapi diam itu mengisyaratkan bahwa Papa tahu bahwa aku mampu menentukan mana yang terbaik untuk diriku sendiri. Meski Papa tak lagi seperti dulu, aku selalu percaya bahwa Papa ada dibelakangku. Papa, akankah ini bagian dari cara mendewasakanku?

      Papa, inilah caraku mengucap rindu. Papa akan tetap menjadi pria terbaik dalam hidupku. Papa akan menjadi satu alasan mengapa aku harus tumbuh menjadi wanita yang dewasa. Papa, dengarlah. Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu.

Komentar