Prosa : Janji Jari Kelingking

” Jadi selama ini kamu hanya mengajarkan aku cara memperjuangkan, merasakan, menjaga dan memiliki. Tolong jangan pergi, kamu bahkan belum mengajarkan cara untuk melupakan.“



Seberapa mampu aku mengendalikan perasaanku, sekuat itulah aku akan bertahan. Kamu tidak perlu memintaku untuk menunggu. Karena disini hatiku punya banyak ruang untuk bersabar. Kamu juga tak perlu memohonku untuk tinggal. Karena disini kisahku dan kisahmu telah rapi terpatri dalam kisah kita. Namun satu inginku. Jangan pernah sekalipun memintaku untuk pergi. Aku tak sedikitpun mau dan tak akan pernah mampu. Entah harus berapa kali aku mengatakannya. Entah bagaimana aku harus mengungkapkannya. Dan entah bagaimana membuatmu menyadarinya. Berulang kali aku mencoba mengutarakannya kepadamu, tapi keadaannya tetap sama. Seperti ada dinding tebal diantara kita hingga tanganku tak lagi dapat kamu genggam. Disini, bersama beberapa kata yang berhasil aku rangkai, aku hanya ingin kamu tahu. Mungkin ini hanya catatan cengeng bagimu. Tapi sungguh ini luar biasa bermakna untukku. Dan jika kamu baca ini, ketahuilah aku disini bahagia untukmu. Jangan anggap catatan kecilku ini tulisan tanpa arti.


 Aku hanya tak tahu bagaimana cara meluapkan emosi tanpa melukaimu. Sungguh aku menyerah untuk berbicara dengan cara “yang biasa” kepadamu. Meski aku tahu kata yang terlontar dariku seolah hanya angin lalu bagimu. Aku hanya punya cara tersendiri untuk melantunkan setiap emosi yang aku rasakan. Ya, dengan ini. Dengan tulisan. Tulisan memang tak pernah letih untuk mengeja apapun yang aku rasa. Aku mencintai tulisanku seperti aku mencintamu. Karena kalian selalu memberiku kenyamanan dan mengajariku mendobrak batas angan. Mengenalmu, itu hal yang membuka mataku untuk melihat semua yang membahagiakan dan semua yang memberi luka. Sekalipun aku tak akan pernah menyesal untuk bertemu denganmu. Bahkan jika ada kesempatan untuk mengulang semuanya. Aku akan mengulangnya berkali-kali. Agar aku bisa berlama-lama memandangimu dan terhanyut dalam sorot matamu. Andai kamu tahu. Aku sangat suka melihat kedua matamu. Jangan tanya mengapa, karena sesungguhnya akupun tak tahu. Seperti ada dua magnet yang hendak menarikku kedalamnya. Perbolehkan aku untuk menitipkan harapan dipelupuk matamu agar kamu dapat melihat masa depan kita. Kita memang tidak pernah bicara banyak tentang masa depan, tapi masa depan telah menyiapkan banyak cerita untuk kita.



 Seandainya saat ini kamu mengerti. Kamu memang bukan satu-satunya sosok yang pernah singgah dihati. Tapi entah kenapa aku suka caramu. Aku juga tak ingin memperbandingkanmu dengan yang lain. Karena beginilah caraku untuk menghargai semua orang yang pernah memberi warna setiap relung hatiku. Aku sepenuhnya memahami, memperbadingkan sosok-sosok itu berarti sama saja menghakimi pilihanku sendiri. Kamu salah satu yang terpilih. Dan lagi, aku suka caramu. Caramu mengungkapkan cinta yang tak biasa. Caramu yang mengajarkan untuk memahami. Kamu adalah laki-laki yang tak pernah membuatku menangis. Bukan berarti aku tak pernah merasa sakit ketika bersamamu. Tapi kamulah yang benar-benar mengajarkanku untuk membasuh setiap rasa sakit dengan kasih sayang. Ini bukan sebuah sanjungan untukmu, tapi ini tentang apa yang kamu bingkiskan untukku.

 Dan sekarang kamu pergi. Maaf, aku tak bisa menuliskan apa yang aku rasakan dengan gamblang agar kamu mengerti. Bahkan menurutku akan lebih baik jika aku tidak menuliskannya. Inilah bagian dari caraku untuk menghargaimu. Aku tak ingin mengungkapkannya sedikitpun, agar aku tak membebanimu. Tapi aku tahu, suatu hari kamu akan memahami bagaimana perasaanku. Karena bagaimanapun kamu pernah jadi bagianku. Dulu kita pernah jadi satu. Memang tak seharus diingat, tapi terasa lebih indah jika kamu mau mengingat. Tentang perahu kertas dan kegugupanmu saat bicara padaku. Tentang masa depan, rasa dan mimpi.


Dan apakah kamu ingat tentang langit senja dan janji jari kelingking? Waktu itu kita berjanji untuk bertemu. Hatiku berfirasat kau akan mengatakan sesuatu. Hingga semalaman aku tak kunjung terlelap hanya untuk memikirkan jawaban yang tepat untukmu. Kemudian hari itupun tiba. Kamu seperti bukan kamu. Begitu juga dengan aku. Aku tak ingin membuatmu menunggu. Setelah lama kita berdua, akhirnya kamu mengungkapkannya. Tepat seperti yang aku duga. Firasatku ada benarnya. Suasana begitu dingin dan kita berdua sama-sama gugup. Kata yang kamu ucapkan itu seperti matra bagiku. Matra yang mengunci hatiku untuk laki-laki lain dan membiarkanmu untuk jadi pemilik tunggal. Sekejap keraguanku hilang dan aku kehilangan kata yang aku fikirkan semalam suntuk. Aku hanya mengucapkan apa yang hatiku ingin katakan dan itu tulus. Mulai detik itu kita berikrar saling memiliki. Kamu kaitan kelingkingmu di jari kelingkingku. Begitu manis caramu. Aku hanya bisa memandangmu begitu dalam. Sedalam aku memaknai hubungan kita saat itu. Aku dan kamu sepakat. Aku dan kamu se-iya se-kata. Aku dan kamu sepasang kekasih. Sayang, akhirnya kita menutup hari itu dengan sedikit duka. Kita hanya duduk berdua dengan perasaan yang tak lagi sama. Kata demi kata kita ucapkan penuh makna. Degup jantungku dan jantungmu berdetak tak biasa. Desir asmara yang tadinya ada berubah menjadi desus kebimbangan yang tak berujung. Kita berdua sama-sama harus pergi. Menjauh dan menuntut ilmu di kota yang berbeda. Saat itu aku ingin lebih lama duduk di sampingmu. Mulutku sulit untuk mengucapkan kata selamat tinggal. Kita sama-sama kehabisan kata untuk mengungapkan perpisahan secara biasa. Aku ingin sekali mendekapmu. Ingin sekali.



Kita bagai dua burung dara yang baru saja dipertemukan kemudian terpaksa dipisahkan. Kita berpisah. Dulu kamu bilang untuk sementara, tapi melihat keadaan saat ini bisa jadi untuk selamanya. Jika dengan terus mengenggammu adalah cara membuatmu terluka, maka aku akan belajar melepaskan secara perlahan agar kamu bahagia. Maaf aku menyerah. Maaf aku pernah mencintaimu. Dan, maaf aku masih saja menyebut namamu dalam doaku.

Komentar